Anak-anak sangat identik dengan jiwa yang bersih, belum terkontaminasi oleh hal-hal yang mestinya belum perlu dialami. Terbayang oleh kita bagaimana kata “anak” mencerminkan jiwa yang lugu, polos, dan apa adanya. Tentunya tidak ingin keadaan seperti itu berubah menjadi sebaliknya. Biarkan mereka tumbuh dalam keadaan yang benar-benar alamiah, tanpa paksaan baik yang disengaja ataupun tidak. Namun apakah dizaman seperti sekarang ini kita bisa mempertahankan cara mendidik seperti itu? Mengingat perkembangan alat-alat elektronik yang begitu pesat dan canggih, seperti VCD, radio, komputer dan televisi.
Yang disebut belakangan
merupakan satu sarana yang bisa membuat seorang anak menjadi lebih cepat matang
sebelum waktunya. Misalnya seorang anak yang berusia
4 tahun yang masih
terbata-bata bicaranya, jika mereka sering menonton televisi dengan frekuensi yang sering maka koleksi kata mereka
cenderung akan bertambah dengan cepat sekali. Bahkan mungkin saja tindakan yang
mereka lakukan mirip dengan apa yang pernah mereka tonton.
Terbayang oleh kita bahwa film
kartun adalah film yang penuh dengan cerita lucu dan menarik, tetapi temyata
kini tidak semuanya demikian. Banyak film kartun yang gambarnya lucu tetapi isi
ceritanya ‘sebenarnya memuat juga pesan-pesan untuk orang dewasa. Ini tentunya
sudah tidak cocok lagi ditonton oleh anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun.
Tapi apa mau
dikata, tayangan-tayangan tersebut diputar pada jam saat seorang anak usia balita harus sarapan pagi.
Dampaknya
Kecenderungannya,
sekarang anak-anak makan sambil nonton
televisi, dengan alasan kalau tidak demikian maka makannya akan susah. Kalau sudah demikian
maka akan sulit untuk merubahnya kembali, karena anak sudah terpolakan untuk
duduk di depan televisi dengan remote di tangannya, menonton televisi
sambil makan. Melihat gejala demikian tentunya membuat kita miris. Bagaimana
seorang anak tidak akan terkontaminasi, bila hal itu dilakukan terus menerus
hingga menjadi suatu kebiasaan yang sudah terpolakan dalam otak seorang anak.
Bila guncangan televisi pada
anak-anak ini hanya menjadi persoalan bagi para orang tua dan hanya beberapa
gelintir orang yang peduli pada hal itu, maka masalahnya sulit untuk dibenahi.
Sebenarnya pihak yang memang benar-benar perlu dilibatkan adalah pihak stasiun
televisi dan pihak-pihak terkait.
Dampak lain dari masuknya televisi di Desa adalah banyaknya anak anak yang meninggalkan
pelajaran mengaji karena mereka lebih tertarik untuk menonton acara siaran anak-anak (kartun, Si Madun dan
sebagainya). Sebagian anak-anak juga mengikuti acara-acara pertunjukan televisi
sampai larut malam, yang menyebabkan mereka tidak lagi mempunyai waktu untuk
belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah.
Saat ini, sudah ada stasiun
televisi yang mencantumkan kode-kode tertentu di ujung layar bila suatu acara
tertentu sedang ditayangkan. Kode-kode tersebut adalah : D (dewasa), SU (semua
umur), dan DO (didampingi orang tua) atau BO (bimbingan orangtua). Ini bisa
dikatakan sebagai suatu langkah maju dalam mengantisipasi menyebarnya informasi
yang tidak pantas diserap oleh anak-anak. Dengan kode-kode tersebut, para orang
tua mudah mengetahui jenis acara. mana yang cocok ditonton oleh anak-anak
mereka.
Namun itu saja
tidak cukup, mengingat hal tersebut hanya sebagai rambu-rambu dalam tayangan
TV. Yang seharusnya berperan aktif adalah masyarakat dalam mengawasi tayangan
TV yang tidak baik, kemudian mengadukan kepada KPI dan KPID selaku lembaga yang
berwenang mengawasi dan menghentikan tayangan TV.
Alfianto
Jaringan Radio Komunitas Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar