Peringatan Hari Kartini pada 21 April setiap tahun, identik dengan parade kebaya, lomba masak kaum laki-laki, dan hal-hal yang bersifat tradisional, khususnya budaya Jawa. Tidak ada yang salah dengan prosesi peringatan tersebut, namun hakikat peringatan Hari Kartini mulai terkikis oleh budaya post modern yang glamour dan eksistensialis.
Tampaknya, judul buku Pramodya
Ananta Toer, yaitu "Panggil Aku Kartini Saja", sarat akan pesan sosial dan kontekstual. Begitu
dalam dan tajam Pram mengulas dan memblejeti kehidupan Kartini. Tak
banyak yang berkeinginan untuk menganalisa pesan yang disampaikan Pram dalam
buku tersebut, khalayak lebih tertarik dengan keindahan bahasa prosa
dan susunan novel yang digunakan dalam buku tersebut.
Intinya, kita semua
"sengaja" melupakan kepeloporan Kartini dalam memajukan masa depan
kehidupan perempuan Indonesia. Kita larut memperdebatkan kata wanita dan
perempuan, memperdebatkan kerja emansipasi dengan kerja kesetaraan, serta
memperdebatkan gerakan afirmatif bagi perempuan.
Jika kita mecermati hakikat
kepeloporan Kartini, kita akan mampu menyimak bahwa Kartini tidak pernah
"menjual" ke-ningrat-annya dalam memperjuangkan perempuan
Indonesia. Kartini terkesan tidak peduli dengan status madu dari
seorang priyayi, tidak peduli dengan gelar Raden Ajeng yang disandangnya, tidak
peduli dengan kehalusan dan keluhuran budaya Jawa, dan Kartini terkesan tidak
peduli dengan kodrat keperempuanannya. Yang dipikirkan dan diperbuatnya adalah
memajukan kehidupan dan masa depan perempuan Indonesia.
Bahkan seakan kita melihat bahwa
Kartini lebih menginginkan perempuan untuk mengenyam pendidikan, diberikan tempat yang layak oleh
kaum laki-laki, dan mampu menyusun masa depannya sendiri ketimbang perempuan
harus "wani di toto". Untuk itu, Kartini
lebih memilih mencurahkan alam pikiran dan gagasannya kepada beberapa laki-laki
progresif yang bersedia bersama-sama berjuang untuk kemajuan kehidupan
masyarakat Indonesia.
Hari ini, jika Kartini
"melihat" kehidupan perempuan Indonesia, mungkin ia akan menulis
sebuah tulisan dengan judul "Kapan Habis Gelap Terbitlah Terang akan
Terwujud". Hari ini, perempuan Indonesia masih ter-marjinal-kan
dalam berbagai bidang kehidupan, hidup dalam ruang domestik keluarga
dan cenderung terlecehkan dalam proses indutrialisasi yang masif. Bahkan kaum
perempuan sendiri sibuk mengurusi implementasi Kartini modern dan Kartini
tradisional yang malah memposisikan perempuan sebagai "tontonan"
sejarah.
Kepeloporan Kartini mesti
dilanjutkan. Perempuan Indonesia mesti hidup layak dan bermartabat, tidak
penting apakah itu disebut kesetaraan gender atau disebut emansipasi
wanita. Yang penting perempuan Indonesia harus dapat menikmati cita-cita
kemerdekaan Republik ini.
Kaum perempuan mesti lebur dalam
perjuangan memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat bersama-sama kaum
laki-laki. Apakah itu namanya pemberdayaan, pengorganisasian, atau perubahan
sosial, yang terpenting adalah perempuan dapat menentukan masa depan
kehidupannya berdasarkan hak dan kewajibanya sebagai anggota masyarakat sosial.
Dan, perlu kita pikirkan kembali makna perlakuan khusus bagi perempuan yang
nyata-nyata malah memposisikan perempuan sebagai makhluk lemah yang selalu
butuh pertolongan dan "bimbingan" kaum laki-laki.
Perempuan harus berani berkata
"Masalah kami bukan masalah Keyakinan, bukan masalah Politik, masalah perempuan adalah kehidupan yang layak dan
bermartabat". Selamat hari Kartini, semoga kepeloporan Kartini tidak
luntur karena distorsi hedonisme industrialisasi.
Guru MTSN Way Panji
Diterbitkan Lampost, Kolom Suara Pembaca pada Sabtu14 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar