Kamis, 10 Mei 2012

Rencana Revisi UU No 32/2002 Tentang Penyiaran= Mengucilkan Penyiaran Komunitas


Awalan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan roh sistem penyiaran nasional Indonesia. Lahirnya UU tersebut merupakan tonggak berdirinya demokratisasi dibidang penyiaran dan informasi, yang secara fundamental merupakan perwujudan hak asasi dalam kebebasan menyatakan pendapat dan menyebarkan pendapat di muka umum.

Dikeluarkannya UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, masyarakat memiliki kedaulatan atas sumberdaya frekuensi dan berhak atas pendirian lembaga penyiaran. UU ini disambut dengan berdirinya beragam lembaga penyiaran, komunitas, niaga, berlangganan dan milik pemerintah.

Dampak positifnya adalah arus informasi menjadi terbuka lebar dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan informasi. Namun, dampak negatifnya adalah penguasaan frekuensi dan penyiaran oleh korporasi bermodal besar terhadap penyiran nasional di Indonesia.

Penguasaan modal besar dari korporasi ini lah yang menyebabkan adanya monopoli dan penyeragaman arus informasi yang cenderung menyebabkan penyiaran dimanfaatkan oleh pemilik modal. Selain itu kewenangan negara diabaikan sehingga negara hanya menjadi alat legitimasi praktek buruk korporasi dalam penyiaran.

Radio Komunitas
Lahirnya Radio Komunitas sebagai salah satu saluran informasi, ruang ekspresi dan sekaligus media konsolidasi berbagai gagasan, cita-cita di tengah tengah komunitas semakin eksis sejak diberlakukannya UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Serta dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28f, yang berbunyi “setiap orang yang menjadi warga negara indonesia berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan  informasi dengan menggunakan segala saluran yang ada.
Dalam menjalankan peran dan fungsinya radio komunitas sering kali berhadapan dengan berbagai persoalan yang diakibatkan oleh pelaksanaan regulasi yang tidak konsisten dilapangan. Hal lain juga masih lemahnya regulasi dalam mendorong tumbuh dan berkembangannya radio komunitas.

Proses Perijinan yang panjang, lama dan melelahkan, minimnya Alokasi Frekwensi daya pancar (daya pancar radio komunitas yang hanya dimasukkan pada kelas D dengan daya pancar maksimal 50 watt, daya jangkau radio komunitas yang hanya 2,5 km dari pusat siaran /pemancar, alokasi frekuensi radio komunitas yang hanya 1,5 % dari 204 kanal yang tersedia (3 kanal) dan lokasi kanal yang rentan bersinggungan dengan frekuensi penerbangan) menyebabkan penyiaran radio komunitas sengaja dipinggirkan.

Selain itu, masih sedikit pemahaman pemerintah daerah terhadap Lembaga Penyiaran Komunitas menyebabkan Pemerintah daerah masih sulit membedakan mana  radio komunitas yang benar-benar tumbuh dan berkembang dimasyarakat sebagai media rakyat, dengan radio “yang meyebut komunitas” yang tumbuh  tanpa melibatkan peran serta masyarakat didalamnya. Singkat kata, semua radio komunitas dianggap liar.

Akan lebih arif jika pemerintah mengatur Lembaga Penyiaran Komunitas dengan mengeluarkan paket UU Penyiaran, yang salah satunya adalah UU Penyiaran Komunitas dengan mengandung tujuan bagaimana UU tersebut mampu menjamin tumbuh dan berkembangnya radio komunitas bersama lembaga penyiaran yang lain.  Disini ada kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi tumbuh dan berkembanganya Lembaga Penyiaran Komunitas baik dalam pengembangan kapasitas dan teknis.

Alfianto
Jaringan Radio Komunitas Lampung
Di Terbitkan Radar Lampung pada 14 April 2012, Kolom TAJUK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar