Rabu, 09 Mei 2012

Eksploitasi Seksual Komersial Anak Di Negeri Ini


Eksploitasi Seksual Komersial Anak merupakan “Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.”(Deklarasi dan Agenda stokholm).
Setiap tahun diperkirakan ada 100.000 anak dan perempuan yang diperdagangkan di Indonesia. Diperkirakan juga bahwa 30 persen perempuan yang terlibat dalam pelacuran di Indonesia masih berumur di bawah 18 tahun dengan 40.000 - 70.000 anak Indonesia yang menjadi korban eksploitasi seksual. Institut Perempuan melaporkan bahwa sekitar 43,5 persen korban trafiking masih berusia 14 tahun walaupun sebagian besar perdagangan anak melibatkan anak-anak usia 17 tahun.
Permintaan terhadap seks anak telah memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global sementara kemiskinan, diskriminasi serta keinginan untuk memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik membuat anak-anak menjadi rentan terhadap ESKA. Anak-anak sangat rentan untuk diperdagangkan dengan tujuan seks karena mereka seringkali kurang berpendidikan, lebih mudah untuk dimanfaatkan karena kekuasaan yang besar atau dapat ditipu oleh orang yang telah dewasa. Anak-anak juga mungkin merasa wajib untuk membantu menafkahi keluarga mereka atau lari dari situasi keluarga yang sulit dan bisa dijual atau pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan.
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan data yang dikumpulkan dari 23 propinsi, tercatat ada lebih dari 2.000 kasus perdagangan anak di Indonesia pada tahun 2007, sebagian besar melalui Batam (400 kasus) dan Jakarta dari daerah-daerah pengirim di Jawa, Indramayu.
Usia anak sering dipalsukan dengan menggunakan KTP palsu yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pencatatan kelahiran di Indonesia sehingga mereka bisa bekerja sebagai buruh migran di luar negeri dengan iming-iming gaji yang besar. Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri dalam masyarakat China di Propinsi Kalimantan Barat (beberapa kasus juga dilaporkan di Jawa Timur) diperdagangkan untuk pengantin wanita pesanan ke Taiwan, Hong Kong dan Singapura.
Pada tahun 2007 dilaporkan bahwa para pelaku traffiking telah menggunakan dokumen-dokumen palsu untuk mendapatkan visa wisatawan untuk perempuan dan anak. Perdagangan perempuan dan anak perempuan domestik juga mewakili sebuah masalah eksploitasi yang besar di seluruh Indonesia. Perempuan dan anak-anak perempuan direkrut dengan janji akan dipekerjakan di sebuah restoran atau pabrik atau sebagai pembantu rumah tangga tetapi malah dipaksa masuk ke dalam perdagangan seks.
Pada bulan Mei 2008, ada sebuah trend baru perdagangan anak perempuan umur 13 tahun ke daerah-daerah pembalakan liar di Kalimantan Barat. Kalimantan Barat dikenal sebagai sebuah daerah dimana anak-anak perempuan yang sebagian besar masih berusia antara 13-17 tahun diperdagangkan dari pulau tersebut, dengan janji akan dipekerjakan sebagai pekerja restoran atau pembantu tetapi kenyataannya malah dipaksa masuk kedalam lokalisasi. Ada daerah-daerah tertentu di Indonesia yang dianggap sebagai daerah tujuan atau daerah pengirim. Misalnya, Bali dikenal sebagai daerah tujuan untuk perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual sedangkan Surabaya dianggap sebagai daerah tujuan untuk trafiking domestik dan sebagai daerah transit untuk beberapa rute internasional.
Jawa Barat dikenal sebagai daerah pemasok untuk pelacuran anak dan perempuan sedangkan Jakarta, Batam dan Surabaya dikenal sebagai daerah tujuan.
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa dari tahun 1972 - 2008, mereka telah mencatat lebih dari 13.703 anak korban eksploitasi seksual di daerah-daerah tujuan wisata di 40 desa di 6 propinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perdagangan anak untuk tujuan seksual, baik untuk pelacuran anak maupun pornografi, ditemukan di Semarang (Jawa Tengah) dan Indramayu (Jawa Barat). Sementara itu, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan pelacuran ditemukan secara merata di propinsi-propinsi tersebut.

Alfianto
"Belajar Menulis"
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar