Eksploitasi Seksual
Komersial Anak merupakan “Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak.
Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan
pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang
ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai objek
seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan
sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada
bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.”(Deklarasi dan Agenda stokholm).
Setiap tahun
diperkirakan ada 100.000 anak dan perempuan yang diperdagangkan di Indonesia. Diperkirakan
juga bahwa 30 persen perempuan yang terlibat dalam pelacuran di Indonesia masih
berumur di bawah 18 tahun dengan 40.000 - 70.000 anak Indonesia yang menjadi
korban eksploitasi seksual. Institut Perempuan melaporkan bahwa sekitar 43,5
persen korban trafiking masih berusia 14 tahun walaupun sebagian besar
perdagangan anak melibatkan anak-anak usia 17 tahun.
Permintaan
terhadap seks anak telah memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global
sementara kemiskinan, diskriminasi serta keinginan untuk memiliki sebuah
kehidupan yang lebih baik membuat anak-anak menjadi rentan terhadap ESKA.
Anak-anak sangat rentan untuk diperdagangkan dengan tujuan seks karena mereka
seringkali kurang berpendidikan, lebih mudah untuk dimanfaatkan karena
kekuasaan yang besar atau dapat ditipu oleh orang yang telah dewasa. Anak-anak
juga mungkin merasa wajib untuk membantu menafkahi keluarga mereka atau lari
dari situasi keluarga yang sulit dan bisa dijual atau pergi ke luar negeri
untuk mendapatkan pekerjaan.
Di Indonesia, kemiskinan,
penerimaan sosial terhadap buruh anak, kurangnya pencatatan kelahiran,
praktek-praktek tradisional seperti pernikahan dini dan kurangnya pendidikan
bagi anak perempuan merupakan faktor-faktor terjadinya
perdagangan manusia. Anak-anak usia 15-18 tahun dari Indonesia diperdagangkan
ke Malaysia, Hong Kong dan Singapura untuk tujuan seksual. Banyak dari mereka yang diperdagangkan
dari Indonesia melalui Kepulauan Riau, Kalimantan dan Sulawesi ke daerah-daerah
wisata di Malaysia dan Singapura.
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan
data yang dikumpulkan dari 23 propinsi, tercatat ada lebih dari 2.000 kasus
perdagangan anak di Indonesia pada tahun 2007, sebagian besar melalui Batam
(400 kasus) dan Jakarta dari daerah-daerah pengirim di Jawa, Indramayu.
Usia anak sering dipalsukan dengan menggunakan KTP
palsu yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pencatatan kelahiran di Indonesia
sehingga mereka bisa bekerja sebagai buruh migran di luar negeri dengan
iming-iming gaji yang besar. Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar remaja
putri dalam masyarakat China di Propinsi Kalimantan Barat (beberapa kasus juga
dilaporkan di Jawa Timur) diperdagangkan untuk pengantin wanita pesanan ke
Taiwan, Hong Kong
dan Singapura.
Pada tahun 2007
dilaporkan bahwa para pelaku traffiking telah menggunakan dokumen-dokumen palsu
untuk mendapatkan visa wisatawan untuk perempuan dan anak. Perdagangan
perempuan dan anak perempuan domestik juga mewakili sebuah masalah eksploitasi
yang besar di seluruh Indonesia. Perempuan dan anak-anak perempuan direkrut
dengan janji akan dipekerjakan di sebuah restoran atau pabrik atau sebagai
pembantu rumah tangga tetapi malah dipaksa masuk ke dalam perdagangan seks.
Pada bulan Mei 2008, ada sebuah trend baru
perdagangan anak perempuan umur 13 tahun ke daerah-daerah pembalakan liar di
Kalimantan Barat. Kalimantan
Barat dikenal sebagai sebuah daerah dimana anak-anak perempuan yang sebagian
besar masih berusia antara 13-17 tahun diperdagangkan dari pulau tersebut,
dengan janji akan dipekerjakan sebagai pekerja restoran atau pembantu tetapi
kenyataannya malah dipaksa masuk kedalam lokalisasi. Ada
daerah-daerah tertentu di Indonesia yang dianggap sebagai daerah tujuan atau
daerah pengirim. Misalnya, Bali dikenal sebagai daerah tujuan untuk perdagangan
perempuan dan anak untuk tujuan seksual sedangkan Surabaya dianggap sebagai
daerah tujuan untuk trafiking domestik dan sebagai daerah transit untuk
beberapa rute internasional.
Jawa Barat dikenal sebagai daerah pemasok untuk pelacuran
anak dan perempuan sedangkan Jakarta, Batam dan Surabaya dikenal sebagai daerah
tujuan.
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa dari
tahun 1972 - 2008, mereka telah mencatat lebih dari 13.703 anak korban
eksploitasi seksual di daerah-daerah tujuan wisata di 40 desa di 6 propinsi,
yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jawa Barat dan
Jawa Timur.
Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
perdagangan anak untuk tujuan seksual, baik untuk pelacuran anak maupun
pornografi, ditemukan di Semarang (Jawa Tengah) dan Indramayu (Jawa Barat).
Sementara itu, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan pelacuran
ditemukan secara merata di propinsi-propinsi tersebut.
Alfianto
"Belajar Menulis"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar