Minggu, 06 Mei 2012

Bijak Memilih Tayangan Televisi



Perkembangan media massa di Indonesia maju pesat dalam 10 tahun terakhir ini, bersamaan dengan proses keterbukaan informasi dan demokratisasi di Indonesia. Berbagai media massa bermunculan, mulai dari televisi, radio, hingga koran/majalah.

Disamping itu, dengan disahkannya UU No. 32/2002 tentang Penyiaran memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi mendirikan media massa televisi dan radio. Berbagai kelompok masyarakat, dunia usaha dan pemerintahan diberikan peluang untuk mendirikan Lembaga Penyiaran Publik (LPB), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB).
                                                                                                                 
Hasilnya banyak stasiun televisi berdiri di tingkat nasional maupun lokal, banyak stasiun radio berdiri dan bersiaran, banyak pemerintah daerah mendirikan Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD), dan banyak tersedia siaran televisi berlangganan. Beragam tayangan dan siaran disuguhkan kepada pemirsa dan pendengar, mulai dari hiburan, hingga berita.

Stasiun Televisi

Pada perkembangannya, industri penyiaran yang tidak siap dengan konsep penyiaran dan fungsi sosialnya adalah industri televisi. Penyiaran televisi menjadi wilayah abu-abu dalam menyuguhkan hiburan dan informasi kepada pemirsanya karena terkesan tanpa filter dan membentuk kebudayaan sendiri.

Saat ini, beragam tayangan televisi dibuat dan disiarkan hanya untuk memenuhi aspek hiburan dan iklan. Beberapa tayangan televisi bahkan secara eksplisit bermuatan kekerasan, pelecehan, mistis, cenderung porno dan bias gender. Tak hanya itu, demi rating, beberapa stasiun televisi bahkan nekat memproduksi acara reality show.

Secara langsung, televisi mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat, mulai dari gaya berbicara ke-Betawi-Betawian (dengan aksen gaul), prilaku konsumtif, memutarbalikan norma sosio-budaya, hingga prilaku main hakim sendiri. Maka tak heran kalau kita mendengar ada anak kecil yang tangannya patah oleh temannya gara-gara meniru adegan Smack Down, remaja menggunakan bahasa gaul dengan logat bahasa daerah yang kental, pemahaman nilai keagamaan yang bias akibat tayangan sinetron “religi”, masyarakat cenderung mistis dan percaya takhayul, dan menjadi hobi bergunjing karena pengaruh tayangan infotaiment.

Namun, sebetulnya hal ini bukan berjalan tanpa aturan hukum yang jelas untuk mengatur tayangan televisi. Selepas reformasi, peran sensor oleh Departemen Penerangan diganti dengan peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan mendorong pembentukan tata pengelolaan siaran yang santun, mencerdaskan dan menghibur. Setidaknya, untuk mengatur kelayakan tayangan televisi, KPI telah menyusun Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai rambu yang mesti dipatuhi oleh lembaga penyiaran televisi dalam memproduksi dan menayangkan sebuah acara televisi.

Berbagai hal diatur dalam P3SPS, mulai dari cara menghormati sekelompok masyarakat marjinal hingga jam siar yang pantas untuk sebuah tayangan televisi, serta etika pelaku penyiaran televisi. Bahkan tayangan televisi masih diliputi oleh rambu-rambu yang tertuang dalam UU Perfiliman, UU Pers, hingga UU Politik.

Namun, karena merasa menjadi salah satu pilar demokrasi, stasiun TV enggan mematuhi rambu-rambu tersebut dengan dasar kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin UUD 1945. Bahkan tak jarang stasiun televisi menantang KPI, sebagai lembaga negara yang berwenang atas isi penyiaran, ketika tayangan televisinya di tegur dan dilarang untuk tayang. Tak jarang acara yang telah dilarang tayang tetap disiarkan dengan nama baru yang mirip.

Bersikap Kritis

Berkaca dari hal tersebut, perlu kedewasaan pemirsa televisi untuk memilih tayangan televisi yang layak tonton. Selain pemirsa televisi membutuhkan pemahaman yang kuat tentang fungsi televisi dan hak pemirsa terhadap tayangan televisi yang berkualitas dan hak pemirsa untuk mengkritisi tayangan televisi.

Artinya dengan tidak semata-mata menyalahkan tayangan televisi dan stasiun televisi yang menyuguhkan tayangan “tak berkualitas”, kita mesti membangun masyarakat yang sadar dan mengerti media televisi. Dengan memberikan Pendidikan Instrumen kepada masyarakat, kita semua berharap masyarakat dapat lebih bijak dalam memilih tayangan televisi yang akan ditontonnya.

Alfianto
Jaringan Radio Komunitas Lampung
Diterbitkan Lampost, Kolom OPINI pada, Kamis 12 April 2012

1 komentar: