Perkembangan
media massa di Indonesia maju pesat dalam 10 tahun terakhir ini, bersamaan dengan proses
keterbukaan informasi dan demokratisasi di Indonesia. Berbagai media massa
bermunculan,
mulai dari televisi, radio, hingga koran/majalah.
Disamping itu,
dengan disahkannya UU No. 32/2002 tentang Penyiaran memberikan kesempatan
kepada masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi mendirikan media massa
televisi dan radio. Berbagai kelompok masyarakat, dunia usaha dan pemerintahan
diberikan peluang untuk mendirikan Lembaga Penyiaran Publik (LPB), Lembaga
Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) dan Lembaga Penyiaran
Berlangganan (LPB).
Hasilnya banyak
stasiun televisi berdiri di tingkat nasional maupun lokal, banyak stasiun radio
berdiri dan bersiaran, banyak pemerintah daerah mendirikan Radio Siaran
Pemerintah Daerah (RSPD), dan banyak tersedia siaran televisi berlangganan.
Beragam tayangan dan siaran disuguhkan kepada pemirsa dan pendengar, mulai dari
hiburan, hingga berita.
Stasiun Televisi
Pada
perkembangannya, industri penyiaran yang tidak siap dengan konsep penyiaran dan
fungsi sosialnya adalah industri televisi. Penyiaran televisi menjadi wilayah abu-abu
dalam menyuguhkan hiburan dan informasi kepada pemirsanya karena terkesan tanpa
filter dan membentuk kebudayaan sendiri.
Saat ini,
beragam tayangan televisi dibuat dan disiarkan hanya untuk memenuhi aspek
hiburan dan iklan. Beberapa tayangan televisi bahkan secara eksplisit bermuatan
kekerasan, pelecehan, mistis, cenderung porno dan bias gender. Tak hanya itu,
demi rating, beberapa stasiun televisi bahkan nekat memproduksi acara reality
show.
Secara langsung,
televisi mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat, mulai dari gaya berbicara
ke-Betawi-Betawian (dengan aksen gaul), prilaku konsumtif, memutarbalikan norma
sosio-budaya, hingga prilaku main hakim sendiri. Maka tak heran kalau kita
mendengar ada anak kecil yang tangannya patah oleh temannya gara-gara meniru
adegan Smack Down, remaja menggunakan bahasa gaul dengan logat bahasa daerah yang
kental, pemahaman nilai keagamaan yang bias akibat tayangan sinetron “religi”,
masyarakat cenderung mistis dan percaya takhayul, dan menjadi hobi bergunjing
karena pengaruh tayangan infotaiment.
Namun,
sebetulnya hal ini bukan berjalan tanpa aturan hukum yang jelas untuk mengatur
tayangan televisi. Selepas reformasi, peran sensor oleh Departemen Penerangan
diganti dengan peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan mendorong
pembentukan tata pengelolaan siaran yang santun, mencerdaskan dan menghibur.
Setidaknya, untuk mengatur kelayakan tayangan televisi, KPI telah menyusun
Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai rambu yang
mesti dipatuhi oleh lembaga penyiaran televisi dalam memproduksi dan
menayangkan sebuah acara televisi.
Berbagai hal
diatur dalam P3SPS, mulai dari cara menghormati sekelompok masyarakat marjinal
hingga jam siar yang pantas untuk sebuah tayangan televisi, serta etika pelaku
penyiaran televisi. Bahkan tayangan televisi masih diliputi oleh rambu-rambu
yang tertuang dalam UU Perfiliman, UU Pers, hingga UU Politik.
Namun, karena
merasa menjadi salah satu pilar demokrasi, stasiun TV enggan mematuhi
rambu-rambu tersebut dengan dasar kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin UUD 1945.
Bahkan tak jarang stasiun televisi menantang KPI, sebagai lembaga negara yang
berwenang atas isi penyiaran, ketika tayangan televisinya di tegur dan dilarang
untuk tayang. Tak jarang acara yang telah dilarang tayang tetap disiarkan
dengan nama baru yang mirip.
Bersikap Kritis
Berkaca dari hal
tersebut, perlu kedewasaan pemirsa televisi untuk memilih tayangan televisi
yang layak tonton. Selain pemirsa televisi membutuhkan pemahaman yang kuat
tentang fungsi televisi dan hak pemirsa terhadap tayangan televisi yang berkualitas
dan hak pemirsa untuk mengkritisi tayangan televisi.
Artinya dengan
tidak semata-mata menyalahkan tayangan televisi dan stasiun televisi yang
menyuguhkan tayangan “tak berkualitas”, kita mesti membangun masyarakat yang
sadar dan mengerti media televisi. Dengan memberikan Pendidikan Instrumen kepada masyarakat, kita
semua berharap masyarakat dapat lebih bijak dalam memilih tayangan televisi
yang akan ditontonnya.
Alfianto
Jaringan Radio Komunitas Lampung
Diterbitkan Lampost, Kolom OPINI pada, Kamis 12 April 2012
Sip sip sip.. :)
BalasHapus