Minggu, 06 Mei 2012

Pengiriman TKI=Bisnis


Himpitan ekonomi dan sempitnya lapangan kerja di negara ini, membuat masyarakat berbondong-bondong mengadu nasib di luar negeri. Dengan harapan di luar negeri mendapat pekerjaan dan penghasilan yang lebih, namun tentunya harapaan itu tidak mudahnya diperoleh.

Persoalan memang tak henti-hentinya menimpa buruh migran indonesia. Menurut data Migrant Care, pada tahun 2010, terdapat 45.845 masalah buruh migran. Enam masalah terbesar adalah deportasi dari Malaysia sebanyak 22.745 kasus, disusul dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan tidak di gaji sebanyak 8.080 kasus, lalu di penjara di Malaysia sebanyak 6.845 kasus, persoalan sakit saat bekerja sebanyak 3.568 kasus, penganiayaan sebanyak 1.187 kasus, dan pelecehan seksual sebanyak 874 kasus.

Sebelumnya, pada tahun 2009, terdapat 5.314 kasus kekerasan terhadap buruh migran indonesia, dari 5.314 kasus itu 97% dialami oleh perempuan, sementara hanya 3% yang dialami oleh laki-laki. Lalu, terdapat pula 1.018 kasus kematian buruh migran di tahun 2009. Dari 1.018 kematian tersebut, kasus kematian karena kecelakaan kerja berjumlah 90 kasus, sementara kematian karena kekerasan berjumlah 89 kasus. Adapun kematian yang tidak di ketahui sebabnya berjumlah 268 kasus.

Selain persoalan diatas, buruh migran juga menghadapi masalah pemerasan. Menurut Darto, Ketua Biro Buruh Migran Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, pungli terhadap TKI terjadi di setiap tahapan yang dilalui. Dimulai sejak rekrutmen di desa, mereka sudah terkena pungli dalam pembuatan dokumen-dokumen yang di perlukan. Misalnya, untuk membuat surat catatan keterangan kepolisian (SKCK), mereka bisa terkena pungli Rp150 ribu. Belum lagi kalau menggunakan sponsor, punglinya bisa Rp700 ribu, bahkan sampai Rp1 juta.

Kemudian, saat pemberangkatan dan di negara tujuan, mereka terkena pungli lagi. Misalnya, ketika mau berangkat, mereka di minta uang Rp3 juta dengan berbagai alasan, seperti untuk biaya dokumen dan transpor. Pada saat pulang, pungli juga mengerubungi mereka kembali. Ketika tiba di terminal IV, mulai dari pengangkut barang, pendataan sampai asuransi, memungut biaya ilegal dari mereka. Kemudian,    saat diantar ke kampung halaman, mereka masih terkena pungli oleh sopir travel. Jumlahnya antara Rp300 ribu-Rp1 juta. Belum lagi, mereka juga rentan terkena pelecehan seksual oleh para sopir.

Pertanyaannya, kenapa buruh migran Indonesia rentan terkena masalah, terutama kekerasan dan pemerasan? Jamaluddin Suryahadikusuma dari Serikat Buruh Migran Indonesia menyatakan, persoalannya ada diperlindungan hukum.
Keengganan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bisa terlihat dari keengganan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, padahal 80% buruh migran indonesia bekerja di sektor rumah tangga.

Keengganan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum memang merupakan salah satu penyebab kerentanan buruh migran terhadap kekerasan dan pemerasan. Begitu pula dengan “Privatisasi” pengiriman buruh migran, karena karakter swasta adalah mencari untung. Namun, yang patut ditanyakan lebih lanjut adalah kenapa pemerintah enggan memeberikan perlindungan hukum? Kemudian, apabila peran swasta dihapuskan dan pengiriman buruh migran dilakukan oleh negara, apakah keadaan akan lebih baik?

Untuk menjawab dua hal tersebut perlu ditinjau karakter negaranya. Menurut Nur Harsono dari Migran Care, pemerintah memang sengaja mendorong pengiriman TKI untuk mengejar target devisa. Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan, pada tahun 2004, pemerintah menargetkan penempatan 400 ribu TKI dengan remiten 2 milyar dolar AS, sekalipun yang terealisasi adalah penempatan 380.690 TKI dengan remiten 1,9 milyar dolar AS.

Kemudian di tahun 2005, pemerintah menargetkan 700 ribu TKI dengan remiten 3 milyar dolar AS, meskipun yang terealisasi adalah 474.310 TKI dengan remiten 2,93 milyar dolar AS. Lalu, di tahun 2006, pemerintah kembali menergetkan penempatan 700 ribu TKI dengan remiten 3,5 milyar dolar AS, walaupun yang terealisasi adalah 680.000 TKI dengan remiten 3,41 milyar dolar AS. Sementara, di tahun 2007, pemerintah menargetkan penempatan 750 ribu TKI dengan remiten 3,36 milyar dolar AS, sekalipun yang terealisasi adalah 108,732 TKI dengan remiten 0,884 milyar dolar AS.

Jadi, apa yang dilakukan pemerintah dengan program TKI ini sebenarnya adalah mengakomodifikasi warganya, memperdagangkan dan mengorbankan mereka demi memperoleh devisa. Inilah sebabnya kenapa pemerintah tidak begitu peduli dengan perlindungan hukum, karena kepentingannya hanya mengejar devisa.

Dengan karakter negara yang demikian, apakah akan ada perbaikan jikalau peran swasta dihapuskan dan pengiriman TKI dilakukan sepenuhnya oleh negara? Mungkin tidak, namun bukan berarti peran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) lebih baik, karena mereka juga terlibat dan menerima keuntungan dari perdagangan ini.

Akan nampak bijaksana ketika pemerintah menghentikan pengiriman tenaga kerja keluar negeri dan membangun lapangan kerja, sehingga pengangguran di negara ini teratasi tanpa harus mengirimkan tenaga kerja keluar negeri.

Nurdiana Hidayati(Mahasiswa IAIN Radin Intan Lampung)
Diterbitkan Radar Lampung pada 18 Januari 2012
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar