Himpitan ekonomi dan sempitnya lapangan kerja di negara ini, membuat masyarakat berbondong-bondong mengadu nasib di luar negeri. Dengan harapan di luar negeri mendapat pekerjaan dan penghasilan yang lebih, namun tentunya harapaan itu tidak mudahnya diperoleh.
Persoalan memang
tak henti-hentinya menimpa buruh migran indonesia. Menurut data Migrant Care, pada
tahun 2010, terdapat 45.845 masalah buruh migran. Enam masalah terbesar adalah
deportasi dari Malaysia sebanyak 22.745 kasus, disusul dengan pemutusan
hubungan kerja (PHK) sepihak dan tidak di gaji sebanyak 8.080 kasus, lalu di
penjara di Malaysia sebanyak 6.845 kasus, persoalan sakit saat bekerja sebanyak
3.568 kasus, penganiayaan sebanyak 1.187 kasus, dan pelecehan seksual sebanyak
874 kasus.
Sebelumnya, pada
tahun 2009, terdapat 5.314 kasus kekerasan terhadap buruh migran indonesia, dari
5.314 kasus itu 97% dialami oleh perempuan, sementara hanya 3% yang dialami
oleh laki-laki. Lalu, terdapat pula 1.018 kasus kematian buruh migran di tahun
2009. Dari 1.018 kematian tersebut, kasus kematian karena kecelakaan kerja
berjumlah 90 kasus, sementara kematian karena kekerasan berjumlah 89 kasus. Adapun
kematian yang tidak di ketahui sebabnya berjumlah 268 kasus.
Selain persoalan
diatas, buruh migran juga menghadapi masalah pemerasan. Menurut Darto, Ketua Biro
Buruh Migran Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, pungli terhadap TKI terjadi
di setiap tahapan yang dilalui. Dimulai sejak rekrutmen di desa, mereka sudah
terkena pungli dalam pembuatan dokumen-dokumen yang di perlukan. Misalnya, untuk
membuat surat catatan keterangan kepolisian (SKCK), mereka bisa terkena pungli
Rp150 ribu. Belum lagi kalau menggunakan sponsor, punglinya bisa Rp700 ribu,
bahkan sampai Rp1 juta.
Kemudian, saat
pemberangkatan dan di negara tujuan, mereka terkena pungli lagi. Misalnya, ketika
mau berangkat, mereka di minta uang Rp3 juta dengan berbagai alasan, seperti
untuk biaya dokumen dan transpor. Pada saat pulang, pungli juga mengerubungi
mereka kembali. Ketika tiba di terminal IV, mulai dari pengangkut barang,
pendataan sampai asuransi, memungut biaya ilegal dari mereka. Kemudian, saat diantar ke kampung halaman, mereka
masih terkena pungli oleh sopir travel. Jumlahnya antara Rp300 ribu-Rp1 juta.
Belum lagi, mereka juga rentan terkena pelecehan seksual oleh para sopir.
Pertanyaannya, kenapa
buruh migran Indonesia rentan terkena masalah, terutama kekerasan dan pemerasan?
Jamaluddin Suryahadikusuma dari Serikat Buruh Migran Indonesia menyatakan, persoalannya
ada diperlindungan hukum.
Keengganan
pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bisa terlihat dari keengganan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga, padahal 80% buruh migran indonesia bekerja di sektor rumah
tangga.
Keengganan
pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum memang merupakan salah satu
penyebab kerentanan buruh migran terhadap kekerasan dan pemerasan. Begitu pula
dengan “Privatisasi” pengiriman buruh migran, karena karakter swasta adalah
mencari untung. Namun, yang patut ditanyakan lebih lanjut adalah kenapa
pemerintah enggan memeberikan perlindungan hukum? Kemudian, apabila peran swasta
dihapuskan dan pengiriman buruh migran dilakukan oleh negara, apakah keadaan
akan lebih baik?
Untuk menjawab
dua hal tersebut perlu ditinjau karakter negaranya. Menurut Nur Harsono dari
Migran Care, pemerintah memang sengaja mendorong pengiriman TKI untuk mengejar
target devisa. Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan, pada tahun 2004, pemerintah menargetkan
penempatan 400 ribu TKI dengan remiten 2 milyar dolar AS, sekalipun yang
terealisasi adalah penempatan 380.690 TKI dengan remiten 1,9 milyar dolar AS.
Kemudian di tahun
2005, pemerintah menargetkan 700 ribu TKI dengan remiten 3 milyar dolar AS,
meskipun yang terealisasi adalah 474.310 TKI dengan remiten 2,93 milyar dolar
AS. Lalu, di tahun 2006, pemerintah kembali menergetkan penempatan 700 ribu TKI
dengan remiten 3,5 milyar dolar AS, walaupun yang terealisasi adalah 680.000
TKI dengan remiten 3,41 milyar dolar AS. Sementara, di tahun 2007, pemerintah
menargetkan penempatan 750 ribu TKI dengan remiten 3,36 milyar dolar AS,
sekalipun yang terealisasi adalah 108,732 TKI dengan remiten 0,884 milyar dolar
AS.
Jadi, apa yang
dilakukan pemerintah dengan program TKI ini sebenarnya adalah mengakomodifikasi
warganya, memperdagangkan dan mengorbankan mereka demi memperoleh devisa.
Inilah sebabnya kenapa pemerintah tidak begitu peduli dengan perlindungan
hukum, karena kepentingannya hanya mengejar devisa.
Dengan karakter
negara yang demikian, apakah akan ada perbaikan jikalau peran swasta dihapuskan
dan pengiriman TKI dilakukan sepenuhnya oleh negara? Mungkin tidak, namun bukan
berarti peran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) lebih baik, karena
mereka juga terlibat dan menerima keuntungan dari perdagangan ini.
Akan nampak
bijaksana ketika pemerintah menghentikan pengiriman tenaga kerja keluar negeri
dan membangun lapangan kerja, sehingga pengangguran di negara ini teratasi
tanpa harus mengirimkan tenaga kerja keluar negeri.
Nurdiana Hidayati(Mahasiswa IAIN Radin Intan Lampung)
Diterbitkan Radar Lampung pada 18 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar