Pemerintahan Soekarno mengeluarkan UU No.5 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai solusi terhadap permasalahan tanah dan sumber daya agraria yang ada di Indonesia sejak dicengkramnya Indonesia oleh kolonialisme. Tak diragukan, UUPA telah menjadi tonggak terpenting dari perjuangan rakyat dari seluruh rangkaian perjuangan kemerdekaan nasional atas penjajahan. Pemerintahan Soekarno kemudian juga menetapkan hari lahirnya UUPA ini, yakni 24 september.
Sebelum merdeka
dan berdaulat sebagai sebuah negara, wilayah Indonesia/Nusantara merupakan
wilayah yang diperebutkan petak demi petaknya oleh para elite/segelintir
penguasa demi kekayaan pribadi, dengan mengorbankan jutaan rakyat yang mayoritas
hidup sebagai pengolah tanah”kaum tani”. Sejak zaman kerajaan sampai diambil-alihnya penindasan itu oleh
pemerintahan VOC dan Hindia-Belanda, tanah sebagai salah satu sumber kehidupan
terpenting tidak pernah benar-benar dapat dimiliki dan dikuasai sepenuhnya oleh
petani sebagai
pengolah tanah.
Setelah ditindas
lewat sistem upeti dan penyerahan wajib hasil-hasil tanah di era kerajaan,
pemerintahan kolonial melengkapi penindasan dengan menerapkan sistem tanam paksa yang
menghancurkan struktur tanah dan struktur sosial di Indonesia. Kemudian UU Agraria tahun 1970 yang memberi pintu
liberalisasi tanah kepada modal asing. Hasilnya saat itu adalah, rakyat
Indonesia menjadi “koeli” di negeri sendiri dengan kondisi kesengsaraan yang
luar biasa. Penguasaan atas tanah menjadi satu senjata terpenting penjajah
untuk menaklukkan rakyat Indonesia. Inilah sebabnya mengapa persoalan
tanah/agraria menjadi persoalan yang teramat sentral dari kemerdekaan nasional
dan kesejahteraan rakyat
Pasca
Kemerdekaan
Setelah merdeka, UUPA merupakan Undang-Undang paling penting yang
mewadahi arti dan semangat kemerdekaan nasional dari penjajah, karena merupakan
antitesa dari pola penguasaan tanah ala kolonialis dan sekaligus memiliki
perspektif yang cukup tegas dalam menjunjung kedaulatan kaum tani atas sumber-sumber
agraria. Namun penerapan UU Pokok-Pokok Agraria tersebut mendapatkan hambatan
yang keras, terutama dari pemilik tanah besar/tuan tanah yang menghubungkan
dirinya dengan tentara. Demikian upaya-upaya dari Negara dan kaum tani saat itu
untuk menjalankan amanat UUPA tersebut belum mendapatkan keberhasilan. Dalam arti, UUPA belum
terlaksana di lapangan hingga akhirnya kekuasaan
dipegang oleh pak Soeharto.
Saat pak Harto berkuasa kondisi petani kembali menderita. UUPA yang merupakan intisari perasan dari
kemerdekaan tidak pernah dijalankan bahkan dianggap peraturan rongsokan yang
diabaikan begitu saja. Tidak hanya itu, lebih jauh lagi, pemerintahan Orde Baru
telah mengembalikan pola penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria kepada
pemodal-pemodal asing seperti di jaman penjajahan terdahulu lewat seperangkat
peraturan Hak Guna Usaha (HGU) ataupun Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atas tanah.
Sebagai kelanjutan yang lebih massif atas penguasaan modal atas
tanah, pemerintahan pasca reformasi kembali
meletakkan UUPA sebagai Undang-Undang yang di“museum”kan dengan lahirnya peraturan
undang-undang sektoral agraria yang tidak mengacu kepada UUPA (baca: tidak mengacu pada kedaulatan
kaum tani) seperti UU Sumber Daya Air , UU Pertambangan, UU Penanaman Modal, UU
Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pesisir dan Kelautan dsb.
Ketimpangan
Secara nyata kebijakan era Orde Baru (yang dilanjutkan secara massif
di era reformasi) telah melahirkan ketimpangan yang cukup mendalam dalam
penguasaan tanah di Indonesia. Persoalan ketimpangan sosial yang dicerminkan
oleh ketimpangan penguasaan atas tanah dapat dilihat dari fakta bahwa hampir
60% golongan yang dikategorikan sebagai kaum tani hanya memiliki lahan seluas
0,2 sampai 1 hektar. Sedangkan 30% kaum tani adalah petani penggarap yang tidak
memiliki tanah yang dapat dikelola secara rutin. Jika kita mengkaitkannya
dengan logika pertambahan penduduk dan rendahnya produktivitas pertanian skala
kecil akibat kapitalisasi pertanian, maka akan dapat dipastikan, semakin lama
tanah akan semakin terkonsentrasi pada beberapa gelintir pemilik tanah/modal,
dan semakin banyak petani yang tak
memiliki tanah.
Dengan jumlah petani yang berkisar 44% dari penduduk bekerja
(sekitar 46 juta jiwa) dari 105 juta penduduk yang bekerja, maka dapat
dipastikan 90% masyarakat yang tergolong petani, yaitu 41,4 juta jiwa, maksimal
hanya menguasai 26,4 juta ha tanah; sedangkan 10% nya, yaitu 4,6 juta jiwa,
sedikitnya menguasai 17,6 juta ha. Sungguh-sungguh ketimpangan yang luar biasa.
Inilah suatu akar yang menyebabkan perpindahan penduduk besar-besaran dari desa
ke kota.
Alfian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar