Senin, 04 Juni 2012

Perjalanan UUPA


Pemerintahan Soekarno mengeluarkan UU No.5 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai solusi terhadap permasalahan tanah dan sumber daya agraria yang ada di Indonesia sejak dicengkramnya Indonesia oleh kolonialisme. Tak diragukan, UUPA telah menjadi tonggak terpenting dari perjuangan rakyat dari seluruh rangkaian perjuangan kemerdekaan nasional atas penjajahan. Pemerintahan Soekarno kemudian juga menetapkan hari lahirnya UUPA ini, yakni 24 september.
                                                           
Sebelum merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara, wilayah Indonesia/Nusantara merupakan wilayah yang diperebutkan petak demi petaknya oleh para elite/segelintir penguasa demi kekayaan pribadi, dengan mengorbankan jutaan rakyat yang mayoritas hidup sebagai pengolah tanahkaum tani. Sejak zaman kerajaan sampai diambil-alihnya penindasan itu oleh pemerintahan VOC dan Hindia-Belanda, tanah sebagai salah satu sumber kehidupan terpenting tidak pernah benar-benar dapat dimiliki dan dikuasai sepenuhnya oleh petani sebagai pengolah tanah.

Setelah ditindas lewat sistem upeti dan penyerahan wajib hasil-hasil tanah di era kerajaan, pemerintahan kolonial melengkapi penindasan dengan menerapkan sistem tanam paksa yang menghancurkan struktur tanah dan struktur sosial di Indonesia. Kemudian UU Agraria tahun 1970 yang memberi pintu liberalisasi tanah kepada modal asing. Hasilnya saat itu adalah, rakyat Indonesia menjadi “koeli” di negeri sendiri dengan kondisi kesengsaraan yang luar biasa. Penguasaan atas tanah menjadi satu senjata terpenting penjajah untuk menaklukkan rakyat Indonesia. Inilah sebabnya mengapa persoalan tanah/agraria menjadi persoalan yang teramat sentral dari kemerdekaan nasional dan kesejahteraan rakyat

Pasca Kemerdekaan

Setelah merdeka, UUPA merupakan Undang-Undang paling penting yang mewadahi arti dan semangat kemerdekaan nasional dari penjajah, karena merupakan antitesa dari pola penguasaan tanah ala kolonialis dan sekaligus memiliki perspektif yang cukup tegas dalam menjunjung kedaulatan kaum tani atas sumber-sumber agraria. Namun penerapan UU Pokok-Pokok Agraria tersebut mendapatkan hambatan yang keras, terutama dari pemilik tanah besar/tuan tanah yang menghubungkan dirinya dengan tentara. Demikian upaya-upaya dari Negara dan kaum tani saat itu untuk menjalankan amanat UUPA tersebut belum mendapatkan keberhasilan. Dalam arti, UUPA belum terlaksana di lapangan hingga akhirnya kekuasaan dipegang oleh pak Soeharto.

Saat pak Harto berkuasa kondisi petani kembali menderita. UUPA yang merupakan intisari perasan dari kemerdekaan tidak pernah dijalankan bahkan dianggap peraturan rongsokan yang diabaikan begitu saja. Tidak hanya itu, lebih jauh lagi, pemerintahan Orde Baru telah mengembalikan pola penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria kepada pemodal-pemodal asing seperti di jaman penjajahan terdahulu lewat seperangkat peraturan Hak Guna Usaha (HGU) ataupun Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atas tanah.

Sebagai kelanjutan yang lebih massif atas penguasaan modal atas tanah, pemerintahan  pasca reformasi kembali meletakkan UUPA sebagai Undang-Undang yang di“museum”kan dengan lahirnya peraturan undang-undang sektoral agraria yang tidak mengacu kepada UUPA (baca: tidak mengacu pada kedaulatan kaum tani) seperti UU Sumber Daya Air , UU Pertambangan, UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pesisir dan Kelautan dsb.

Ketimpangan

Secara nyata kebijakan era Orde Baru (yang dilanjutkan secara massif di era reformasi) telah melahirkan ketimpangan yang cukup mendalam dalam penguasaan tanah di Indonesia. Persoalan ketimpangan sosial yang dicerminkan oleh ketimpangan penguasaan atas tanah dapat dilihat dari fakta bahwa hampir 60% golongan yang dikategorikan sebagai kaum tani hanya memiliki lahan seluas 0,2 sampai 1 hektar. Sedangkan 30% kaum tani adalah petani penggarap yang tidak memiliki tanah yang dapat dikelola secara rutin. Jika kita mengkaitkannya dengan logika pertambahan penduduk dan rendahnya produktivitas pertanian skala kecil akibat kapitalisasi pertanian, maka akan dapat dipastikan, semakin lama tanah akan semakin terkonsentrasi pada beberapa gelintir pemilik tanah/modal, dan semakin banyak petani yang tak memiliki tanah.

Dengan jumlah petani yang berkisar 44% dari penduduk bekerja (sekitar 46 juta jiwa) dari 105 juta penduduk yang bekerja, maka dapat dipastikan 90% masyarakat yang tergolong petani, yaitu 41,4 juta jiwa, maksimal hanya menguasai 26,4 juta ha tanah; sedangkan 10% nya, yaitu 4,6 juta jiwa, sedikitnya menguasai 17,6 juta ha. Sungguh-sungguh ketimpangan yang luar biasa. Inilah suatu akar yang menyebabkan perpindahan penduduk besar-besaran dari desa ke kota.

Alfian
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar