Senin, 04 Juni 2012

Buruh Migran Indonesia Membutuhkan Perlindungan Sejati


18 Desember menjadi momen penting bagi Buruh Migran dan Keluarganya. Tahun 1990 terakuinya persoalan dan kerentanan-kerentanan yang terjadi pada buruh migran dan keluarganya, maka dunia dibawah naungan PBB mengeluarkan satu Konvensi International untuk disahkan bagi negara-negara anggotanya tentang Perlindungan Hak bagi Buruh Migran dan Keluarganya.
Pada tahun 2010 tercatat ada 214 manusia didunia yang melakukan migrasi ditengah keterpaksaan mereka karena adanya persoalan ekonomi yang dihadapi oleh mereka. Namun dari situasi migrasi terpaksa ini kontribusi mereka yang sebesar US $ 325 miliar melalui remitansi,  menjadi suatu keuntungan yang sangat menggiurkan bagi negara-negara maju untuk memberi perhatian lebih terhadap migrasi ini, untuk memaksimalkan proses migrasi sebagai topangan krisis dunia hari ini.

Global Forum on Migration and Development (GFMD) yang sebenarnya beranggotakan negara-negara PBB yang dipimpin oleh Amerika Serikat terus berupaya menyusun strategi-strategi untuk bisa menggenjot ekspor-ekspor manusia yang dilakukan oleh negera-negara terbelakang dan mentargetkan remitansi sebesar  US $ 347 miliar pada tahun 2012.

Tugas GFMD adalah sebagai mesin pemeras, penindas dan penghisap buruh migran sedunia. Karena, pertama mereka tidak mengakui bahwa mereka ada dibawah naungan PBB, hal ini adalah untuk menghindari dari kewajiban melindungi buruh migran yang telah dirumuskan oleh PBB sendiri terhadap buruh migran. Kedua, dalam forum-forum ini yang diselenggarakan setiap tahunnya, tidak sama sekali menghasilkan rumusan-rumusan bagaimana melindungi buruh migran dari kerentanan dalam situsi krisi ekonomi dunia yang semakin kronis ini.

Kebijakan
Pemerintah melegitimasi kebijakan yang memeras, menindas dan menghisap BMI atas nama Perlindungan. Di Indonesia tercatat sekitar 8 juta manusia yang diekspor oleh pemerintahan menjadi Buruh Migran di Luar Negeri 80% adalah perempuan yang ditempatakan sebagai Pekerja Rumah Tangga(PRT), yang setiap tahunnya mencapai 700.000 orang dengan kontribusi remitansi sebesar Rp 100 triliun/tahun.

Jumlah ini dianggap masih jauh dari targetan pemerintah dalam ekspor buruh migran yang diagendakan pada tahun 2009, dengan target ekspor sebesar 1-2 juta manusia dengan kontribusi diharapkan bisa mencapai Rp 125 triliun per tahun.

Hal ini menjadi perhatian pemerintah dalam memasifkan usaha-usaha untuk merealisasikan percepatan peningkatan ekspor buruh migran dengan rencana merubah Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri No. 39 tahun 2004(UUPPTKILN No.39/2004) yang dianggap belum mampu merealisasikan peningkatan ekspor buruh migran untuk mencapai keuntungan yang lebih besar.

Bagi BMI UU ini adalah bentuk swastanisasi sebagai lepas tangan pemerintah atas perlindungan yang harus diberikan kepada BMI dan Keluarganya, pasalnya dalam UU ini pemerintahkan memandatkan wewenang penuh terhadap Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia(PJTKI) untuk menempatkan dan melindungi BMI.

Usaha revisi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah melibatkan buruh migran atau organisasi Buruh Migran, proses ini hanya melibatkan PJTKI-PJTKI dan BNP2TKI, maka bisa dipastikan bahwa rencana revisi yang ada akan jauh dari kepentingan BMI dan keluarganya meski mengatasnamakan Perlindungan.

Kesengsaraan
Kasus-kasus yang dialami oleh buruh migran Indonesia hari ini, seperti kekerasan fisik, pelecehan seksual, penghinaan, tidak ada  hak libur, biaya penempatan yang terlalu tinggi [Overcharging] yang menyebabkan perbudakan hutang bagi BMI dan Keluarganya, kematian misterius hingga ancaman hukuman mati karena pembelaan diri, dan kasus-kasus pelanggaran hak-hak BMI lainya yang dihadapi sejak fase perekrutan, pra kenerangkatan, penempatan dan pemulangan semakin hari semakin meningkat adalah akibat dari kebijakan ekspor buruh migran yang tidak pernah mengedepankan orientasi perlindungan dan kesejahteraan bagi BMI dan Keluarganya.

Sampai detik ini, pemerintahan tidak pernah memberikan pertanggung jawaban yang kongkrit atas persoalan-persoalan yang dialami BMI dan Keluarganya. Penyelesaian-penyelesaian kasus hanya diselesaiakan semata-semata pertanggung jawaban dengan politik pencitraan dirinya dan pembenaran yang sudah dilakukan oleh pemerintah, pembentukan satgas-satgas yang hanya menghabiskan anggaran negara.

Bisnis Asuransi yang dilimpahkan pada pihak swasta dipaksakan kepada BMI. Dengan adanya program Asuransi untuk BMI yang dilimpahkan kepada perusahaan asuransi, jelas sekali orientasi perlindungan hanya dipandang sebagi bisnis semata yang menguntungkan oleh Pemerintah Indonesia. Dan bagi BMI sendiri untuk mendapatkan hak perlindungannya harus membayar mahal melalui program asuransi. KTKLN sejak tahun 2010 digalakkan oleh Pemerintah Indonesia melalui BNP2TKI untuk mencari peluang perampasan uang BMI yang sedang dalam masa cuti dengan mengatasnamakan kebutuhan perlindungan BMI di Negara Penempatan dengan mensyaratkan wajib asuransi dalam pembuatan KTKLN, meskipun dalam promosinya pembuatan KTKLN adalah GRATIS.

Meski dengan program Kredit Usaha Rakyat(KUR) bagi TKI program ini untuk menjawab biaya penempatan yang sangat tinggi dan tidak manusiawi yang selama ini ditanggung oleh BMI. Namun, program ini hakekatnya adalah mengkekalkan perbudakan hutang terhadap BMI karena dimandatkan yang selama ini ada melalui Undang-Undang yang dibuat pemerintah.

Alfianto

Pernah diTerbitkan Radar Lampung pada Kolom Tajuk, 1 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar