18 Desember menjadi momen penting bagi Buruh Migran dan Keluarganya. Tahun 1990 terakuinya persoalan dan kerentanan-kerentanan yang terjadi pada buruh migran dan keluarganya, maka dunia dibawah naungan PBB mengeluarkan satu Konvensi International untuk disahkan bagi negara-negara anggotanya tentang Perlindungan Hak bagi Buruh Migran dan Keluarganya.
Pada tahun 2010
tercatat ada 214 manusia didunia yang melakukan migrasi ditengah keterpaksaan
mereka karena adanya persoalan ekonomi yang dihadapi oleh mereka. Namun dari
situasi migrasi terpaksa ini kontribusi mereka yang sebesar US $ 325 miliar
melalui remitansi, menjadi suatu keuntungan yang sangat menggiurkan
bagi negara-negara maju untuk memberi perhatian lebih terhadap migrasi ini,
untuk memaksimalkan proses migrasi sebagai topangan krisis dunia hari ini.
Global Forum on
Migration and Development (GFMD) yang sebenarnya beranggotakan negara-negara
PBB yang dipimpin oleh Amerika Serikat terus berupaya menyusun
strategi-strategi untuk bisa menggenjot ekspor-ekspor manusia yang dilakukan
oleh negera-negara terbelakang dan mentargetkan remitansi sebesar US
$ 347 miliar pada tahun 2012.
Tugas GFMD
adalah sebagai mesin pemeras, penindas dan penghisap buruh migran sedunia.
Karena, pertama mereka tidak mengakui bahwa mereka ada dibawah naungan PBB, hal
ini adalah untuk menghindari dari kewajiban melindungi buruh migran yang telah
dirumuskan oleh PBB sendiri terhadap buruh migran. Kedua, dalam forum-forum ini
yang diselenggarakan setiap tahunnya, tidak sama sekali menghasilkan
rumusan-rumusan bagaimana melindungi buruh migran dari kerentanan dalam situsi
krisi ekonomi dunia yang semakin kronis ini.
Kebijakan
Pemerintah
melegitimasi kebijakan yang memeras, menindas dan menghisap BMI atas nama
Perlindungan. Di Indonesia tercatat sekitar 8 juta manusia yang diekspor
oleh pemerintahan menjadi Buruh Migran di Luar Negeri 80% adalah perempuan yang
ditempatakan sebagai Pekerja Rumah Tangga(PRT), yang setiap tahunnya mencapai
700.000 orang dengan kontribusi remitansi sebesar Rp 100 triliun/tahun.
Jumlah ini
dianggap masih jauh dari targetan pemerintah dalam ekspor buruh migran yang
diagendakan pada tahun 2009, dengan target ekspor sebesar 1-2 juta manusia
dengan kontribusi diharapkan bisa mencapai Rp 125 triliun per tahun.
Hal ini menjadi
perhatian pemerintah dalam memasifkan usaha-usaha untuk merealisasikan
percepatan peningkatan ekspor buruh migran dengan rencana merubah Undang-Undang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri No. 39 tahun
2004(UUPPTKILN No.39/2004) yang dianggap belum mampu
merealisasikan peningkatan ekspor buruh migran untuk mencapai keuntungan
yang lebih besar.
Bagi BMI UU ini
adalah bentuk swastanisasi sebagai lepas tangan pemerintah atas perlindungan
yang harus diberikan kepada BMI dan Keluarganya, pasalnya dalam UU ini
pemerintahkan memandatkan wewenang penuh terhadap Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
Indonesia(PJTKI) untuk menempatkan dan melindungi BMI.
Usaha revisi
yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah melibatkan
buruh migran atau organisasi Buruh Migran, proses ini hanya melibatkan
PJTKI-PJTKI dan BNP2TKI, maka bisa dipastikan bahwa rencana revisi yang ada
akan jauh dari kepentingan BMI dan keluarganya meski
mengatasnamakan Perlindungan.
Kesengsaraan
Kasus-kasus yang
dialami oleh buruh migran Indonesia hari ini, seperti kekerasan fisik,
pelecehan seksual, penghinaan, tidak ada hak libur, biaya penempatan
yang terlalu tinggi [Overcharging] yang menyebabkan perbudakan hutang bagi
BMI dan Keluarganya, kematian misterius hingga ancaman hukuman mati karena
pembelaan diri, dan kasus-kasus pelanggaran hak-hak BMI lainya yang dihadapi
sejak fase perekrutan, pra kenerangkatan, penempatan dan pemulangan semakin
hari semakin meningkat adalah akibat dari kebijakan ekspor buruh migran yang
tidak pernah mengedepankan orientasi perlindungan dan kesejahteraan bagi BMI
dan Keluarganya.
Sampai detik
ini, pemerintahan tidak pernah memberikan pertanggung jawaban yang kongkrit
atas persoalan-persoalan yang dialami BMI dan Keluarganya.
Penyelesaian-penyelesaian kasus hanya diselesaiakan semata-semata pertanggung
jawaban dengan politik pencitraan dirinya dan pembenaran yang sudah dilakukan
oleh pemerintah, pembentukan satgas-satgas yang hanya menghabiskan anggaran
negara.
Bisnis Asuransi
yang dilimpahkan pada pihak swasta dipaksakan kepada BMI. Dengan adanya
program Asuransi untuk BMI yang dilimpahkan kepada perusahaan asuransi, jelas
sekali orientasi perlindungan hanya dipandang sebagi bisnis semata yang
menguntungkan oleh Pemerintah Indonesia. Dan bagi BMI sendiri untuk mendapatkan
hak perlindungannya harus membayar mahal melalui program asuransi. KTKLN sejak
tahun 2010 digalakkan oleh Pemerintah Indonesia melalui BNP2TKI untuk mencari
peluang perampasan uang BMI yang sedang dalam masa cuti dengan mengatasnamakan
kebutuhan perlindungan BMI di Negara Penempatan dengan mensyaratkan wajib
asuransi dalam pembuatan KTKLN, meskipun dalam promosinya pembuatan KTKLN
adalah GRATIS.
Meski dengan
program Kredit Usaha Rakyat(KUR) bagi TKI program ini untuk menjawab biaya
penempatan yang sangat tinggi dan tidak manusiawi yang selama ini ditanggung
oleh BMI. Namun, program ini hakekatnya adalah mengkekalkan perbudakan hutang
terhadap BMI karena dimandatkan yang selama ini ada melalui Undang-Undang yang
dibuat pemerintah.
Alfianto
Pernah diTerbitkan Radar Lampung pada Kolom Tajuk, 1 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar