Suasana tegang, panas, dan mencekam selalu mewarnai proses pemilihan kepala desa (pilkades) di beberapa desa yang belakangan ini sedang mempersiapkan pesta demokrasi. Aksi unjuk rasa, kerusuhan, bentrok antar pendukung calon, ulah perusakan rumah tinggal penduduk yang dianggap menjadi “lawan politik”-nya, dan amuk massa terhadap fasilitas umum milik masyarakat nyaris menjadi “irama” khas yang menggema di sela-sela pesta demokrasi itu.
Meski tidak semua desa yang tengah
melangsungkan hajat itu ditingkahi aksi kekerasan, tetapi tak urung juga mencuatkan tanda tanya di benak
kita. Ada apa gerangan di balik ulah sebagian warga desa yang cenderung
destruktif dan menjurus ke tingkah anarkhi itu. Bukankah selama ini warga desa kita sanjung sebagai
rakyat yang polos, lugu, manutan, dan santun dalam segenap perilakunya? Mengapa
tiba-tiba saja mereka berubah beringas, rentan terhadap aksi kebrutalan dan
begitu mudah larut dalam arus emosi “purba” yang sebenarnya kurang
menguntungkan itu
Tak dapat dipungkiri, jabatan kepala
Desa memang cukup strategis. Sclain
menjanjikan naiknya status sosial ekonomi, seorang kepala desa juga memegang
posisi kunci (key position) dalam “menghitamputihkan” corak dan warna dinamika
desa yang dipimpinnya. Ia menjadi figur yang dianggap masyarakat memiliki
“kelebihan” tersendiri, dihormati, disegani, dan acapkali dijadikan sebagai
sumber informasi bagi warga desanya.
Sangatlah beralasan, setiap kali siklus demokrasi ini diputar,
tidak sedikit warga desa yang memiliki cukup “modal” siap bersaing untuk
memperebutkan kursi orang nomor satu di desanya. Yang menarik, dukungan yang
diberikan oleh warga desa kepada calon yang dijagokan masing-masing tampak
penuh greget dan antusias. Para pendukung masing-masing calon menjelang hari
“H” pelaksanaan pilkades sibuk menarik simpati massa dengan berbagai macam
cara. Yang jelas, masing-masing kubu merasa calonnyalah yang paling pantas
menjadi kepala desa.
idak jarang terjadi, upaya
masing-masing kubu untuk menarik simpati massa menimbulkan situasi panas dan
tegang. Ada semacam “keharusan” bahwa calonnya harus keluar sebagai pemenang.
Cara yang ditempuhnya pun bervariasi. Ada yang mengobral janji, “memanjakan”
calon pemilih dengan pesta, atau membeli suara calon pemilih dengan sejumlah
uang.
Seiring bergulirnya roda reformasi,
proses pilkades di berbagai Desa
menampakkan kecenderungan untuk membersihkan praktek-praktek yang tidak jujur,
curang, atau tidak adil, mulai saat sang calon menjaring massa hingga proses
penghitungan suara. Ada keinginan kuat dari warga desa untuk menampilkan figur
kepala Desa yang benar-benar mumpuni,
berbobot, memiliki integritas kepribadian yang tinggi, dan memiliki komitmen
kuat untuk memajukan desa.
Tidak berlebihan kalau dibeberapa Desa terjadi pengulangan pilkades lantaran prosesnya
dinilai tidak berlangsung demokratis, jujur, dan adil, serta masih ditemukan
adanya unsur kecurangan. Apalagi kalau calon yang jadi ternyata bukan figur
yang dikehendaki oleh sebagian besar warga desa, mereka tak segan-segan melancarkan
protes dan unjuk rasa. Sepanjang
tuntutan yang disuarakan warga desa lewat unjuk rasa itu wajar dan murni
mengingat adanya praktek kecurangan dalam pilkades, tentu saja hal itu dapat
dimaklumi dan ditolerir. Akan tetapi,
kalau sudah menjurus pada tindakan pemaksaan kehendak ditingkah dengan ulah
perusakan, pembakaran, dan amuk massa, lantaran ambisi calonnya tidak tercapai,
padahal tidak ditemukan adanya unsur kecurangan dalam pilkades, kejadian itu
patut kita sayangkan.
Tindakan seperti itu semestinya, justru mengingkari makna hakiki dcmokrasi
itu sendiri. Esensi demokrasi yang sebenarnya
ialah kesediaan untuk bersikap jujur dan ksatria menerima kekalahan, sekaligus
mengakui kemenangan pihak “lawan”.
Fenomena pilkades yang diwarnai berbagai aksi kekerasan di era reformasi ini,
menurut hemat saya, setidaknya dilatarbelakangi oleh
dua argumen yang cukup mendasar. Pertama,
terciptanya suasana euforia massa setelah lebih dari tiga dasawarsa
kebebasannya dibelenggu oleh rezim Orde Baru. “Bagaikan kuda liar yang lepas dari kandang”,
begitu rezim Orde Baru tergusur dari panggung kekuasaan, para warga Desa merasa mendapatkan kembali kedaulatannya yang
terampas. Mereka bebas menyuarakan pendapat, mengkritik, bahkan melalukan unjuk
rasa, tanpa takut lagi dicap sebagai pemberontak.
Derasnya arus reformasi yang diwarnai dengan berbagai aksi
unjuk rasa seperti yang mereka lihat di layar televisi, kian menyuburkan nyali
warga Desa untuk menggugat praktek-praktek
penyimpangan, penyelewengan, korupsi,
dan berbagai ulah amoral yang dilakukan oleh aparat Desa. Tidak mengherankan kalau banyak kepala Desa atau perangkat Desa
yang diduga melakukan penyimpangan harus tergusur dari kursi jabatannya akibat
gencarnya aksi unjuk rasa warga Desa.
Bagi warga Desa, pilkades benar-benar ingin dijadikan sebagai
momentum untuk memilih seorang pemimpin yang dinilai mampu membawa kemajuan Desa melalui proses pemilihan yang benar-benar
demokratis, jujur, dan adil. Dari sisi ini, berbagai aksi unjuk rasa warga Desa yang menuntut ulang pelaksanaan pilkades lantaran
ditemukan bukti-bukti kecurangan, memang hal yang wajar di era keterbukaan ini.
Akan tetapi, patut disayangkan
memang kalau situasi dan iklim semacam itu lantas dimanfaatkan untuk
melampiaskan “dendam” dari kubu calon yang kalah dengan cara-cara yang kurang
fair dalam berdemokrasi.
Kedua,
membludaknya pemuda Desa
yang kembali ke kampung halaman setelah terkena PHK di Kota. Membanjirnya tenaga muda yang baru saja kehilangan
pekerjaan kemungkinan besar bisa direkrut dan dimobilisasi oleh calon kepala Desa untuk ikut menjadi “tim sukses” dalam memperebutkan
suara massa.
Sepanjang aksi mereka mampu
menimbulkan rasa simpati massa, jelas sah-sah saja adanya. Akan tetapi, siapa
dapat menjamin potensi darah muda mereka bisa diredam begitu mengetahui calon
yang dijagokannya dalam proses pemilihan? Apalagi, mereka pernah hidup di
lingkungan perkotaan yang dianggap begitu rentan terhadap aksi kerusuhan dan
kekerasan bukan mustahil kalau akhirya
mereka terpancing untuk melakukan tindakan destruktif.
Siapa pun orangnya, jelas tak menginginkan suasana pedesaan yang begitu
kuyup oleh sentuhan kedamaian,
ketenteraman, dan kerukunan, tiba-tiba menjadi “rusak’ dan porak-poranda oleh
konflik antar kelompok
kepentingan. Fenomena vandalistis, anarkis, dan bar-bar yang mewarnai siklus demokrasi pilkades ini, mestinya dijadikan cermin berharga untuk tidak mengulangi kesalahan yang
sama.
Kita semua
tahu, tindak kerusuhan dan aksi kekerasan bukanlah solusi arif untuk
menuntaskan masalah. Bahkan, resikonya
pun harus ditebus dengan harga yang cukup mahal. Di negara mana pun yang
menganut paham demokrasi mustahil “menghalalkan”
cara-cara “purba” yang vulgar itu dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ini artinya, mengajak kita semua untuk
bisa menjadi “Aktor” demokrasi yang jujur, ksatria,
dan mampu menahan diri sesuai dengan idaman Ibu Pertiwi. Pada akhirnya terwujudnya tatanan pemerintah Desa yang partisipatif dan
berkeadilan gender menjadi hal yang diimpikan.