Selasa, 06 November 2012

Nuansa Pilkades Masa Kini


Suasana tegang, panas, dan mencekam selalu mewarnai proses pemilihan kepala desa (pilkades) di beberapa desa yang belakangan ini sedang mempersiapkan pesta demokrasi. Aksi unjuk rasa, kerusuhan, bentrok antar pendukung calon, ulah perusakan rumah tinggal penduduk yang dianggap menjadi “lawan politik”-nya, dan amuk massa terhadap fasilitas umum milik masyarakat nyaris menjadi “irama” khas yang menggema di sela-sela pesta demokrasi itu.

Meski tidak semua desa yang tengah melangsungkan hajat itu ditingkahi aksi kekerasan, tetapi tak urung juga mencuatkan tanda tanya di benak kita. Ada apa gerangan di balik ulah sebagian warga desa yang cenderung destruktif dan menjurus ke tingkah anarkhi itu. Bukankah selama ini warga desa kita sanjung sebagai rakyat yang polos, lugu, manutan, dan santun dalam segenap perilakunya? Mengapa tiba-tiba saja mereka berubah beringas, rentan terhadap aksi kebrutalan dan begitu mudah larut dalam arus emosi “purba” yang sebenarnya kurang menguntungkan itu

Tak dapat dipungkiri, jabatan kepala Desa memang cukup strategis. Sclain menjanjikan naiknya status sosial ekonomi, seorang kepala desa juga memegang posisi kunci (key position) dalam “menghitamputihkan” corak dan warna dinamika desa yang dipimpinnya. Ia menjadi figur yang dianggap masyarakat memiliki “kelebihan” tersendiri, dihormati, disegani, dan acapkali dijadikan sebagai sumber informasi bagi warga desanya.

Sangatlah beralasan, setiap kali siklus demokrasi ini diputar, tidak sedikit warga desa yang memiliki cukup “modal” siap bersaing untuk memperebutkan kursi orang nomor satu di desanya. Yang menarik, dukungan yang diberikan oleh warga desa kepada calon yang dijagokan masing-masing tampak penuh greget dan antusias. Para pendukung masing-masing calon menjelang hari “H” pelaksanaan pilkades sibuk menarik simpati massa dengan berbagai macam cara. Yang jelas, masing-masing kubu merasa calonnyalah yang paling pantas menjadi kepala desa.

idak jarang terjadi, upaya masing-masing kubu untuk menarik simpati massa menimbulkan situasi panas dan tegang. Ada semacam “keharusan” bahwa calonnya harus keluar sebagai pemenang. Cara yang ditempuhnya pun bervariasi. Ada yang mengobral janji, “memanjakan” calon pemilih dengan pesta, atau membeli suara calon pemilih dengan sejumlah uang.

Seiring bergulirnya roda reformasi, proses pilkades di berbagai Desa menampakkan kecenderungan untuk membersihkan praktek-praktek yang tidak jujur, curang, atau tidak adil, mulai saat sang calon menjaring massa hingga proses penghitungan suara. Ada keinginan kuat dari warga desa untuk menampilkan figur kepala Desa yang benar-benar mumpuni, berbobot, memiliki integritas kepribadian yang tinggi, dan memiliki komitmen kuat untuk memajukan desa.

Tidak berlebihan kalau dibeberapa Desa terjadi pengulangan pilkades lantaran prosesnya dinilai tidak berlangsung demokratis, jujur, dan adil, serta masih ditemukan adanya unsur kecurangan. Apalagi kalau calon yang jadi ternyata bukan figur yang dikehendaki oleh sebagian besar warga desa, mereka tak segan-segan melancarkan protes dan unjuk rasa. Sepanjang tuntutan yang disuarakan warga desa lewat unjuk rasa itu wajar dan murni mengingat adanya praktek kecurangan dalam pilkades, tentu saja hal itu dapat dimaklumi dan ditolerir. Akan tetapi, kalau sudah menjurus pada tindakan pemaksaan kehendak ditingkah dengan ulah perusakan, pembakaran, dan amuk massa, lantaran ambisi calonnya tidak tercapai, padahal tidak ditemukan adanya unsur kecurangan dalam pilkades, kejadian itu patut kita sayangkan.

Tindakan seperti itu semestinya, justru mengingkari makna hakiki dcmokrasi itu sendiri. Esensi demokrasi yang sebenarnya ialah kesediaan untuk bersikap jujur dan ksatria menerima kekalahan, sekaligus mengakui kemenangan pihak “lawan”.

Fenomena pilkades yang diwarnai berbagai aksi kekerasan di era reformasi ini, menurut hemat saya, setidaknya dilatarbelakangi oleh dua argumen yang cukup mendasar. Pertama, terciptanya suasana euforia massa setelah lebih dari tiga dasawarsa kebebasannya dibelenggu oleh rezim Orde Baru. Bagaikan kuda liar yang lepas dari kandang, begitu rezim Orde Baru tergusur dari panggung kekuasaan, para warga Desa merasa mendapatkan kembali kedaulatannya yang terampas. Mereka bebas menyuarakan pendapat, mengkritik, bahkan melalukan unjuk rasa, tanpa takut lagi dicap sebagai pemberontak.

Derasnya arus reformasi yang diwarnai dengan berbagai aksi unjuk rasa seperti yang mereka lihat di layar televisi, kian menyuburkan nyali warga Desa untuk menggugat praktek-praktek penyimpangan, penyelewengan, korupsi, dan berbagai ulah amoral yang dilakukan oleh aparat Desa. Tidak mengherankan kalau banyak kepala Desa atau perangkat Desa yang diduga melakukan penyimpangan harus tergusur dari kursi jabatannya akibat gencarnya aksi unjuk rasa warga Desa.
Bagi warga Desa, pilkades benar-benar ingin dijadikan sebagai momentum untuk memilih seorang pemimpin yang dinilai mampu membawa kemajuan Desa melalui proses pemilihan yang benar-benar demokratis, jujur, dan adil. Dari sisi ini, berbagai aksi unjuk rasa warga Desa yang menuntut ulang pelaksanaan pilkades lantaran ditemukan bukti-bukti kecurangan, memang hal yang wajar di era keterbukaan ini.

Akan tetapi, patut disayangkan memang kalau situasi dan iklim semacam itu lantas dimanfaatkan untuk melampiaskan “dendam” dari kubu calon yang kalah dengan cara-cara yang kurang fair dalam berdemokrasi.

Kedua, membludaknya pemuda Desa yang kembali ke kampung halaman setelah terkena PHK di Kota. Membanjirnya tenaga muda yang baru saja kehilangan pekerjaan kemungkinan besar bisa direkrut dan dimobilisasi oleh calon kepala Desa untuk ikut menjadi “tim sukses” dalam memperebutkan suara massa.

Sepanjang aksi mereka mampu menimbulkan rasa simpati massa, jelas sah-sah saja adanya. Akan tetapi, siapa dapat menjamin potensi darah muda mereka bisa diredam begitu mengetahui calon yang dijagokannya dalam proses pemilihan? Apalagi, mereka pernah hidup di lingkungan perkotaan yang dianggap begitu rentan terhadap aksi kerusuhan dan kekerasan bukan mustahil kalau akhirya mereka terpancing untuk melakukan tindakan destruktif.

Siapa pun orangnya, jelas tak menginginkan suasana pedesaan yang begitu kuyup oleh sentuhan kedamaian, ketenteraman, dan kerukunan, tiba-tiba menjadi “rusak’ dan porak-poranda oleh konflik antar kelompok kepentingan. Fenomena vandalistis, anarkis, dan bar-bar yang mewarnai siklus demokrasi pilkades ini, mestinya dijadikan cermin berharga untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Kita semua tahu, tindak kerusuhan dan aksi kekerasan bukanlah solusi arif untuk menuntaskan masalah. Bahkan, resikonya pun harus ditebus dengan harga yang cukup mahal. Di negara mana pun yang menganut paham demokrasi mustahil “menghalalkan” cara-cara “purba” yang vulgar itu dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ini artinya, mengajak kita semua untuk bisa menjadi “Aktor” demokrasi yang jujur, ksatria, dan mampu menahan diri sesuai dengan idaman Ibu Pertiwi. Pada akhirnya terwujudnya tatanan pemerintah Desa yang partisipatif dan berkeadilan gender menjadi hal yang diimpikan.

Sabtu, 04 Agustus 2012

siaran Literasi di RKSP


Ibu rumah tangga di Desa Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah, mulai memberanikan diri untuk menyuarakan buah pikiran dan pengetahuannya. Hal ini dilakukan di Radio Komunitas Suara Petani(RKSP FM) pada 19 Maret 2012, langkah ini dilakukan sebagai wujud tindaklanjut dari program JRKL dengan Cipta Media Bersama. Ibu rumah tangga yang telah mengikuti pendidikan instrumen pemantauan dan pengkritisan tayangan TV ini, menyuarakan pemahamannya lewat Radio dengan harapan pemahaman yang didapat juga diketahui masyarakat luas.
 
Kegiatan ini disebut dengan Siaran Literasi, yang mana ibu-ibu menyuarakan hasil pengetahuannya tentang pemantauan tayangan TV. Pada kesempatan ini yang menjadi narasumber adalah ibu Peni dan ibu Ratna, yang akan dipandu oleh Erwin Beni pegiat RKSP FM. Sebelum melakukan siaran di Radio, pegiat RKSP mempersiapkan peralatan dan studio kemudian menyiapkan materi yang berupa pertanyaan.

Kegiatan yang berlangsung selama 2 jam ini, ibu-ibu mengatakan kepada pendengar RKSP bahwa tayangan televisi saat ini banyak yang bernuansa kekerasan, mistis, seksual. Seperti yang ada dalam sinetron, realty show dan gosip. Semua itu tentunya akan berdampak buruk pada pemirsa televisi, khususnya anak-anak. Anak-anak cenderung mengikuti apa yang dilihat, maka tidak heran ketika anak seusia belasan tahun sudah menikah, hamil dan melakukan tindak kekerasan.

Siaran literasi ini mendapat apresiasi baik oleh Peratin Pekon Pahmungan dan masyarakat sekitarnya. Kegiatan ini selain didengar oleh masyarakat juga di dengar secara langsung di Studio RKSP oleh ibu-ibu. Apresiasi ini dapat dilihat dari beberapa SMS yang masuk saat siaran berlangsung.

Ibu-ibu mengutarakan, sangat senang mendapat kesempatan berbicara di Radio Komunitas Suara Petani. Hal ini merupakan kali pertama dilakukannya, kebahagiaan yang utama adalah dapat melakukan hal konkrit yang tentunya bermanfaat bagi masyarakat khususnya yang mendengarkan siaran ini, ungkap ibu Ratna. Dilanjutkan ibu Peni, yang mengungkapkan terimakasih pada JRKL dan Cipta Media Bersama yang telah memberikan pengetahuan yang selama ini kami tidak mengetahuinya.

Alfian(Jaringan Radio Komunitas Lampung)

Rabu, 01 Agustus 2012

Televisi Dalam Nuansa Ramadhan


Selama sebulan penuh, masyarakat diliputi nuansa Ramadhan yang menyengat, tak terkecuali dunia penyiaran Talevisi. Televisi berlomba-lomba membenahi tayangannya agar tetap tampil memikat bagi khalayak pemirsanya. Kemudian, bagaimana wajah Ramadhan yang dibuat  televisi?
Melihat berbagai program televisi di bulan Ramadhan, akan terus mengingatkan kentalnya nuansa bulan suci ini. Mulai dari sinetron hingga reality show bernuansa Islami, memenuhi layar kaca televisi. Wajar saja, ini bulan puasa, maka televisi berpuasa dari acara-acara yang sifatnya keduniawian.
Jika demikian adanya, puasa kita terjaga dari hal-hal yang dapat membatalkannya. Hanya saja, rasanya perlu menanyakan kembali apa makna puasa yang dibuat televisi? Apakah siaran adzan yang dibubuhi iklan juga bagian dari pemaknaan puasa yang hendak dibangun televisi? Dan apakah lantunan sholawat ditengah-tengah berjalannya sinetron juga bagian dari memaknai puasa? Hal tersebut dapat dimaknai dan bisa meraba apa yang sesungguhnya dimaksud berpuasa oleh kebanyakan tayangan pada televisi.
Puasa merupakan upaya membersihkan diri, kembali pada fitrah, kesucian. Ini jualah yang ramai menjadi pesan di televisi, tentu dengan tujuan dan kemasan yang khas televisi Indonesia. Segala hal mulai dari program hiburan, berita, maupun iklan berlomba-lomba menawarkan atribut “kesucian” dan “keislaman”. Dengan menggali hasrat untuk menjadi “suci”, televisi datang menawarkan baju koko, kopiah, ucapan salam, hadits-hadits, dan petuah bijak yang bertebaran, layaknya barang obralan.
Berbagai tayangan sinetron sengaja dipersiapkan untuk mengisi waktu selama ramadhan, seperti sinetron Air Mata Umi. Secara keseluruhan sinetron tersebut sangat kental nuansa islami, mulai dari berpakaian hingga kenakalan remaja.
Televisi tidak sedang mengajak berpuasa. Justru sebalikya, ia menuntun pemirsanya untuk lebih mengejar label atau identitas kesucian dan keislaman semata. Dengan kata lain, puasa bagi televisi adalah upaya melengkapi diri dengan berbagai atribut puasa dan kesucian. Itulah mengapa belakangan ini kita disuguhi dengan berbagai tayangan Iklan yang menguras emosi. Kita belum bisa dikatakan berpuasa kalau belum minum sirup Marjan bersama keluarga.
kemudian, rasanya tidak afdol, apabila remaja perempuan tidak menggunakan busana muslim sebagaimana yang dipakai artis-artis. Dan kurang pas rasanya, apabila para orang tua tidak membelikan anaknya baju koko sebagaimana yang digunakan dalam sinetronLabel identitas yang ditawarkan oleh rangkaian program televisi tidak lain adalah konsumerisme.
Pikiran demikan, bukan hanya menjauhkan kita dari makna puasa sejatinya, yang justru  mengajak kita untuk bersabar dan mengelola hasrat termasuk hasrat konsumsi, tapi juga berdampak pada cara pandang formalis dalam beragama.
Tentunya tidak semata-mata mengatakan bahwa semua tayangan televisi demikian adanya, dan karenanya kita mesti puasa menonton. Yang diperlukan adalah kedewasaan pemirsa televisi untuk memilih tayangan televisi yang layak tonton. Selain pemirsa televisi membutuhkan pemahaman yang kuat tentang fungsi televisi dan hak pemirsa terhadap tayangan televisi yang berkualitas dan hak pemirsa untuk mengkritisi tayangan televisi. Semuanya akan kembali pada diri kita. Sejauh apapun rangsangan yang diproduksi televisi, semua terpulang pada kita untuk memaknainya dan mengambil keputusan.


Alfian
1 Agustus 2012, Desa Sidosari, Lampung Selatan

Sabtu, 14 Juli 2012

Perempuan Pedesaan Bersuara Melalui Radio



Ibu rumah tangga di Desa Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah, mulai memberanikan diri untuk menyuarakan buah pikiran dan pengetahuannya. Hal ini dilakukan di Radio Komunitas Suara Petani(RKSP FM) pada 19 Maret 2012, langkah ini dilakukan sebagai wujud tindaklanjut dari program JRKL dengan Cipta Media Bersama. Ibu rumah tangga yang telah mengikuti pendidikan instrumen pemantauan dan pengkritisan tayangan TV ini, menyuarakan pemahamannya lewat Radio dengan harapan pemahaman yang didapat juga diketahui masyarakat luas.
Kegiatan ini disebut dengan Siaran Literasi, yang mana ibu-ibu menyuarakan hasil pengetahuannya tentang pemantauan tayangan TV. Pada kesempatan ini yang menjadi narasumber adalah ibu Peni dan ibu Ratna, yang akan dipandu oleh Erwin Beni pegiat RKSP FM. Sebelum melakukan siaran di Radio, pegiat RKSP mempersiapkan peralatan dan studio kemudian menyiapkan materi yang berupa pertanyaan.

Kegiatan yang berlangsung selama 2 jam ini, ibu-ibu mengatakan kepada pendengar RKSP bahwa tayangan televisi saat ini banyak yang bernuansa kekerasan, mistis, seksual. Seperti yang ada dalam sinetron, realty show dan gosip. Semua itu tentunya akan berdampak buruk pada pemirsa televisi, khususnya anak-anak. Anak-anak cenderung mengikuti apa yang dilihat, maka tidak heran ketika anak seusia belasan tahun sudah menikah, hamil dan melakukan tindak kekerasan.

Siaran literasi ini mendapat apresiasi baik oleh Peratin Pekon Pahmungan dan masyarakat sekitarnya. Kegiatan ini selain didengar oleh masyarakat juga di dengar secara langsung di Studio RKSP oleh ibu-ibu. Apresiasi ini dapat dilihat dari beberapa SMS yang masuk saat siaran berlangsung.

Ibu-ibu mengutarakan, sangat senang mendapat kesempatan berbicara di Radio Komunitas Suara Petani. Hal ini merupakan kali pertama dilakukannya, kebahagiaan yang utama adalah dapat melakukan hal konkrit yang tentunya bermanfaat bagi masyarakat khususnya yang mendengarkan siaran ini, ungkap ibu Ratna. Dilanjutkan ibu Peni, yang mengungkapkan terimakasih pada JRKL dan Cipta Media Bersama yang telah memberikan pengetahuan yang selama ini kami tidak mengetahuinya

Alfian(Jaringan Radio Komunitas Lampung)
Maret, Krui Lampung Barat

Televisi, Media Hiburan


Perkembangan industri penyiaran telivisi di Indonesia terakhir ini berlangsung dengan sangat cepat. Sebelum tahun 1990 dunia penyiaran televisi di Indonesia hanya ada satu stasiun telivisi nasional yang dikelola oleh negara, yaitu TVRI. Setelah itu bermunculan stasiun-stasiun swasta.
Keberhasilan pembangunan sektor televisi nasional Indonesia ini, di satu sisi memberi harapan tersedianya media komunikasi massa yang efektif untuk menyampaikan berbagai pesan secara langsung kepada masyarakat. Namun pada sisi yang lain, perkembangan yang pesat ini justru memberikan rasa khawatir atas munculnya bentuk intervensi tayangan telivisi terhadap kehidupan psikologi anak-anak. Kekhawatiran itu sangat wajar sebab tidak sedikit tayangan telivisi yang tidak mengindahkan nilai-nilai edukasi, moral, tata susila dan hanya mengejar keuntungan semata.
Namun meski diakui bahwa tidak sedikit stasiun telivisi yang tetap mengedepankan aspek pendidikan dalam beberapa tayangannya. Dengan kata lain telivisi sebenarnya masih tetap bisa memberi dampak positif pada pemirsanya selama pengelola stasiun telivisi tersebut secara konsisten untuk memfungsikan telivisi sebagaimana fungsi telivisi sebagai media massa.
Fungsi Telivisi
Setidaknya ada empat fungsi yang diusung oleh stasiun penyiaran TV. Sebagaimana fungsi media massa lainnya, telivisi mempunyai empat fungsi pokok yaitu ; fungsi sebagai lembaga pemberi informasi publik, fungsi sebagai lembaga edukasi atau memberi pendidikan, fungsi hiburan dan fungsi kontrol sosial.
Namun, secara umum pemanfaatan telivisi pada masyarakat Indonesia masih terbatas hanya sebagai media hiburan dan media informasi. Di Indonesi keempat fungsi telivisi tersebut belum optimal kecuali fungsi menghibur dan fungsi informatif. Menonton TV bukan merupakan perilaku yang salah. Pada tahap dan tingkatan tertentu menonton telivisi bahkan dianjurkan. Yang tidak boleh adalah kecanduan menonton telivisi.
Pengaruh TV
Secara psikologis menonton telivisi dalam rentang waktu yang panjang dan dengan frekwensi (tingkat keseringan) yang tinggi bisa menimbulkan kecanduan dan dapat membunuh daya imajinatif. Lebih daripada itu tontonan telivisi yang ditonton dengan frekwensi dan intensitas yang tinggi akan merangsang terjadinya metabolisme psikis secara berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya ketumpulan emosi seperti apatis, penghayal dan sebagainya.
Jika kebiasaan menonton telivisi dilakukan secara tidak bersama-sama maka dampak sosial yang terjadi adalah perilaku seperti lebih suka beraktivitas sendiri, tidak suka gaul, cuek pada keberadaan orang lain , tidak peduli pada norma umum. Disamping itu, kecanduan menonton telivisi jelas sangat mengganggu aktivitas belajar siswa sekolah. Sementara tidak sedikit stasiun TV yang menempatkan acara favorit anak-anak pada jam dimana anak-anak seharusnya memulai kegiatan belajarnya.
Semua itu tidak luput adalah akibat intervensi yang sangat kuat dari pelajaran-pelajaran yang termuat didalam tayangan telivisi. Akibat dari intervensi yang dilakukan TV terhadap perilaku pemirsanya memang tidak seketika efeknya. Ia akan muncul secara evolutif. Perlahan dan pasti telivisi kita menurunkan keutuhan aqidah, keimanan dan mental
Peran orang tua
Pertama, membangun kesadaran bahwa telivisi mempunyai berbagai fungsi dan memberi pengaruh baik maupun buruk bagi kehidupan pemirsany. Kedua, membuat kesepakatan dengan anak tentang acara yang boleh dan tidak boleh ditonton. Ketiga,  membuat kalender/jadual menonton TV. Keempat mendampingi anak nonton Telivisi.
Tayangan TV terbukti cukup efektif dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku anak-anak, lantaran media ini sekarang telah berfungsi sebagai rujukan dan wahana peniruan. Untuk membantu anak agar dapat memanfaatkan tayangan TV secara positif, sangat membutuhkan peran optimal orang tua terutama dalam mendampingi dan mengawasi.
Orang tua perlu terus mananamkan daya pikir yang kreatif anak dalam belajar. Orang tua tidak perlu melarang anaknya menonton TV. Yang justru mendapat perhatian serius adalah bagaimana orang tua memilihkan acara yang betul-betul bermanfaat bagi pendidikan dan perkembangan anaknya.

 Alfian(Jaringan Radio Komunitas Lampung)
Agus Guntoro(Ketua Radio Komunitas Gema Lestari, Hanura)