Selama sebulan penuh, masyarakat diliputi nuansa Ramadhan yang menyengat, tak
terkecuali dunia penyiaran Talevisi. Televisi berlomba-lomba
membenahi tayangannya agar tetap tampil memikat bagi
khalayak pemirsanya. Kemudian, bagaimana wajah Ramadhan yang dibuat televisi?
Melihat berbagai program televisi di bulan Ramadhan, akan terus
mengingatkan kentalnya nuansa bulan suci ini. Mulai dari sinetron hingga reality
show bernuansa Islami, memenuhi layar kaca televisi. Wajar saja, ini bulan
puasa, maka televisi berpuasa dari acara-acara yang sifatnya keduniawian.
Jika demikian adanya, puasa kita terjaga dari hal-hal yang dapat
membatalkannya. Hanya saja, rasanya perlu menanyakan kembali apa makna puasa yang dibuat televisi?
Apakah siaran adzan yang dibubuhi iklan juga bagian dari pemaknaan puasa yang
hendak dibangun televisi? Dan apakah
lantunan sholawat ditengah-tengah berjalannya sinetron juga bagian dari
memaknai puasa? Hal tersebut dapat dimaknai dan bisa
meraba apa yang sesungguhnya dimaksud berpuasa oleh kebanyakan tayangan pada
televisi.
Puasa merupakan upaya
membersihkan diri, kembali pada fitrah, kesucian. Ini jualah yang ramai menjadi
pesan di televisi, tentu dengan tujuan dan kemasan yang khas televisi
Indonesia. Segala hal mulai dari program hiburan, berita, maupun iklan
berlomba-lomba menawarkan atribut “kesucian” dan “keislaman”. Dengan menggali
hasrat untuk menjadi “suci”, televisi datang menawarkan baju koko, kopiah,
ucapan salam, hadits-hadits, dan petuah bijak yang bertebaran, layaknya barang
obralan.
Berbagai
tayangan sinetron sengaja dipersiapkan untuk mengisi waktu selama ramadhan,
seperti sinetron Air Mata Umi. Secara keseluruhan sinetron tersebut sangat
kental nuansa islami, mulai dari berpakaian hingga kenakalan remaja.
Televisi tidak sedang mengajak berpuasa. Justru sebalikya, ia
menuntun pemirsanya untuk lebih mengejar label atau identitas kesucian dan keislaman
semata. Dengan kata lain, puasa bagi televisi adalah upaya melengkapi diri
dengan berbagai atribut puasa dan kesucian. Itulah mengapa belakangan ini kita
disuguhi dengan berbagai tayangan Iklan yang menguras emosi. Kita belum bisa
dikatakan berpuasa kalau belum minum sirup Marjan bersama keluarga.
kemudian, rasanya tidak afdol, apabila remaja perempuan tidak menggunakan
busana muslim sebagaimana yang dipakai artis-artis. Dan kurang pas rasanya, apabila para
orang tua tidak membelikan anaknya baju koko sebagaimana yang digunakan dalam sinetron. Label identitas yang
ditawarkan oleh rangkaian program televisi tidak lain adalah konsumerisme.
Pikiran demikan, bukan hanya menjauhkan kita dari makna puasa sejatinya, yang justru
mengajak kita untuk bersabar dan mengelola hasrat “termasuk hasrat konsumsi”, tapi juga berdampak pada cara pandang
formalis dalam beragama.
Tentunya tidak semata-mata mengatakan
bahwa semua tayangan televisi demikian adanya, dan karenanya kita mesti puasa menonton. Yang diperlukan adalah kedewasaan
pemirsa televisi untuk memilih tayangan televisi yang layak tonton. Selain
pemirsa televisi membutuhkan pemahaman yang kuat tentang fungsi televisi dan
hak pemirsa terhadap tayangan televisi yang berkualitas dan hak pemirsa untuk
mengkritisi tayangan televisi. Semuanya
akan kembali pada diri kita. Sejauh apapun rangsangan
yang diproduksi televisi, semua terpulang pada kita untuk memaknainya dan mengambil keputusan.
Alfian
1 Agustus 2012, Desa Sidosari, Lampung Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar